Thursday, November 4, 2010

Refreshing Our Nationalism (2)

Di artikel pertama saya, kita bisa melihat bahwa sedikit banyak nasionalisme berhubungan dengan caranya memandang masa depan dan masa ini. Berikutnya kita akan mencoba melihat bagaimana mungkin dua hal yang kelihatannya berbeda jauh ini bisa saling berhubungan. Sebelum kita membahas keterkaitan antara kedua hal ini, ada baiknya di artikel ini kita melihat terlebih dahulu apakah nasionalisme itu penting dan apakah merencanakan masa depan itu penting. Jika salah satunya tidak penting, maka kita tidak perlu lagi melanjutkan pembahasan ini karena yang kita bahas dalam artikel ini adalah keterkaitan antara dua hal sehingga kedua-duanya harus sama benarnya.

Yang pertama adalah nasionalisme. Seperti yang sudah kita bahas dalam artikel sebelumnya, definisi nasionalisme secara sederhana adalah menempatkan negara kita di atas negara lainnya. Mendengar kata nasionalisme, biasanya kita langsung menghubungkannya dengan kata patriotisme. Kebanyakan kita akan berpikir pentingnya nasionalisme adalah untuk membela negara kita dalam hal pertahanan keamanan. Penting lainnya adalah untuk meningkatkan perekonomian masyarakat dengan jalan mencintai produk dalam negeri, ikut bersaing dalam pasar global, dan sebagainya.

Saya tidak bilang bahwa hal tersebut salah, tetapi saya mempunyai beberapa cerita yang menarik terkait hal tersebut. Saya mempunyai beberapa rekan yang setelah tamat SMA masuk dalam ABRI. Ketika ditanya mengapa mereka memilih jalan tersebut, jawabannya beragam, antara lain karena gajinya besar, orang tua mereka ada di sana, dan sejumlah alasan lainnya yang tidak terkait dengan masalah cinta tanah air atau nasionalisme. Bahkan ketika salah satu dari mereka ditanya apakah mereka masuk karena cinta tanah air, ada yang berkata kurang lebih "antara teori dan realita itu berbeda, cinta tanah air itu hanyalah filsafat untuk membuat kita tidak takut membela negara kita". Dalam beberapa hal saya setuju dengan yang dikatakannya bahwa cinta tanah air adalah suatu filsafat, tetapi tidak seperti yang dikatakannya untuk membuat kita tidak takut membela negara kita, cinta tanah air berdampak lebih dari itu. Hal yang ingin saya sampaikan melalui cerita ini adalah masalah pertahanan keamanan yang sangat terkait dengan nasionalisme tampaknya tidak sepenuhnya benar, dari cerita tersebut kita bisa menangkap bahwa tanpa nasionalisme asalkan ada uang, kita bisa menyewa orang untuk mempertahankan negara kita.

Cerita yang kedua terkait dengan perekonomian adalah teman-teman saya mahasiswa fakultas ekonomi ketika ditanya apa yang dapat mereka lakukan untuk meningkatkan perekonomian bangsa, jawabannya beragam dan terdengar indah jika dijalankan. Mulai dari manajemen keuangan keluarga, manajemen diri, pembelajaran lingkungan, pemakaian produk dalam negeri, dan banyak bentuk aplikatif lainnya. Tetapi ketika ditanya apakah mereka melakukannya, maka hampir semua jawabannya adalah tidak. Alasannya beragam tetapi secara mendasar adalah hal-hal tersebut di atas adalah baik sebatas teori, faktanya adalah mereka tidak melakukan hal-hal tersebut pun perekonomian bangsa tetap naik turun dan tidak dipengaruhi oleh mereka tetapi oleh pengusaha-pengusaha kaya. Hal yang ingin saya sampaikan melalui cerita ini adalah masalah perekonomian tampaknya tidak berhubungan dengan nasionalisme, tetapi berhubungan dengan kebijakan usaha kalangan atas negara. Saya pun menyangsikan jika semua dari mereka melakukannya atas dasar meningkatkan perekonomian negara, mungkin banyak dari mereka yang melakukan hanya sekedar untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya melalui usahanya di negara ini.

Ketika merenungkan hal tersebut pada mulanya, jujur saya pun menyangsikan arti penting nasionalisme "di masa ini". Saya pun mulai menyangsikan jangan-jangan kata nasionalisme di zaman penjajahan pun hanyalah alat bagi petinggi negara yang berpendidikan untuk mempersatukan bangsa menggalang kekuatan melawan penjajahan. Siasat ini berhasil dengan baik karena rakyat pada waktu itu sama-sama tertekan dan ingin bebas. Tetapi ketika saya merenungkannya kembali, rasanya teori tersebut tidak mungkin sepenuhnya benar karena mereka dapat tetap mempertahankan nasionalisme mereka walau tekanan semakin berat. Secara logika, jika nasionalisme hanyalah sebagai "alat" mereka yang berpendidikan untuk menyatukan bangsa, tentunya mereka akan perlahan-lahan mundur ketika tekanan bahkan ancaman datang pada mereka dari pihak penjajah, apalagi dukungan rakyat pada mulanya masih sedikit dan rakyat pun tidak akan dapat berbuat banyak jika pemimpin mereka dibunuh sekalipun.

Kemudian saya teringat kata-kata yang pernah diucapkan oleh Mother Teresa bahwa dia dipanggil bukan untuk menyelamatkan semua orang tetapi dia dipanggil untuk "setia". Saya pikir inilah jawaban "mengapa" tokoh-tokoh perjuangan zaman dahulu disebut sebagai tokoh nasionalisme. Mereka layak mendapat sebutan tersebut. Nasionalisme bukanlah hanya sekedar perasaan atau luapan emosi sesaat saja. Jika seperti ini, tentu saja ujian waktu akan mengikis habis jiwa nasionalisme pejuang kemerdekaan kita. Nasionalisme adalah perjuangan dan dedikasi kita pada negara "seumur hidup" kita. Kata-kata "sampai titik darah penghabisan" bukanlah sekedar emosi sesaat mereka, tetapi benar-benar itulah jiwa mereka.

Kita mungkin berpikir bahwa nasionalisme penting sebatas teori karena kita ada di masa yang aman dan nyaman. Kita dimanjakan dengan pembangunan negara yang berlangsung cepat, padahal cita-cita bangsa masih belum tercapai. Kita mungkin bisa berpikir demikian karena lingkungan sekitar kita pun berpikir demikian. Lingkungan kita memaksa kita untuk berpikir bahwa kita adalah sosok kecil dan tidak mampu berpengaruh. Memang kita adalah sosok yang kecil, tetapi sejarah menunjukkan bahwa orang-orang kecil ini mampu menjadi "agen perubahan" bagi sekitarnya dan mempengaruhi banyak orang lain. Kita tidak akan pernah mampu menjadi besar walau kita punya jabatan tinggi, tetapi kita mampu menjadi "agen perubahan". Jika demikian, maka nasionalisme bukan saja penting di satu dua bidang negara, tetapi di "semua" bidang kenegaraan. Nasionalisme bukan masalah lingkungan kita, tetapi masalah "pilihan" kita menjadi "agen perubahan". Nasionalisme bukan masalah emosi singkat untuk negara, tetapi "dedikasi seumur hidup" kita pada negara. Cita-cita bangsa bukan sesuatu yang dapat diraih dengan cepat, tetapi membutuhkan proses yang panjang. Teori dan sejarah sama-sama menunjukkan bahwa nasionalisme adalah penting.

Yang kedua adalah perencanaan masa depan. Dua pandangan besar yang ada adalah masa depan ditentukan oleh masa sekarang dan perlu direncanakan, yang kedua adalah masa depan merupakan misteri dan biarlah kita menjalani saja masa sekarang tanpa kuatir. Pertanyaannya adalah, seberapa pentingkah merencanakan masa depan dan apa batasan merencanakan masa depan itu?

Menurut pandangan saya pribadi, tentu saja perencanaan masa depan adalah hal yang sangat penting. Seseorang tidak mungkin tidak merencanakan masa depannya, termasuk mereka yang berpikir bahwa masa depan dijalani saja. Memang benar "manusia berusaha, Tuhan yang menentukan", tetapi hal ini bukan berarti kita menyerahkan total semuanya kepada Tuhan. Akan sama saja jika Tuhan sudah memberikan hujan tetapi kita tidak siap untuk menadahnya. Jadi merencanakan masa depan sama denganya kita kuatir akan masa depan, tetapi k mempersiapkan diri kita menerima anugerahNya.

Hal lain yang sering disalah mengerti adalah merencanakan masa depan sama dengan menimbun kekuatiran akan masa depan. Hal ini bisa ditolak dengan definisi merencanakan masa depan di atas. Bukannita mempersiapkan masa depan kita dengan baik. Pula, kuatir bukan masalah masa depan saja, tetapi juga masalah saat ini. Kuatir bukan hal yang bisa dihindari tetapi hal yang bisa diminimalkan. Kuatir bisa diminimalkan dengan kita mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Adalah bohong jika orang tidak mempersiapkan segala sesuatunya tetapi tidak kuatir. Contoh buruk yang paling sering terjadi adalah berbuat curang dalam ujian. Anggaplah besok kita akan mengikuti ujian, tetapi guru mata pelajaran ini tidak pernah menghiraukan apakah siswanya berbuat curang atau tidak sehingga kita memutuskan untuk tidak belajar. Tetapi karena kita sama-sama tidak belajar, kita rebutan duduk di sebelah teman-teman pintar nan rajin untuk mendapat bantuan jawaban dari mereka. Ternyata tidak semua dari kita dapat duduk di sebelah mereka dan mereka pun tampaknya juga tidak belajar sungguh-sungguh. Setidak niatnya kita sekolah, sedikit banyak kita akan kuatir juga karena walaupun kita tidak niat sekolah tentu kita ingin lulus juga dan untuk lulus diperlukan nilai yang baik. Mungkin saat ini kuatir itu tidak ada, tetapi bukan benar-benar tidak ada. Kuatir tersebut kita tutupi dengan "pembenaran atas diri sendiri" dan akan keluar jika situasinya di luar dugaan kita.

Tidak kuatir bukan berarti tidak berbuat apa-apa, tetapi kita mempersiapkan segala sesuatunya dan menyerahkan sisanya kepada Tuhan sebagai umat beragama. Pula sebenarnya, tidak ada seorang pun yang tidak merencanakan sesuatu. Kita semua pasti merencanakan sesuatu karena kita hidup. Descartes berkata "cogito ergo sum" yang artinya "aku berpikir, maka aku ada". Kita adalah makhluk pemikir, dan perencanaan adalah proses berpikir yang tidak akan lepas dalam hidup kita. Jadi perencanaan adalah hal yang penting.

Kesimpulannya adalah nasionalisme dan perencanaan masa depan sama-sama penting dan harus kita miliki dalam hidup kita.

No comments:

Post a Comment