Wednesday, November 3, 2010

Refreshing Our Nationalism (1)

Saya mengambil judul besar "Indonesiaku, Masa Depanku" karena tertarik dengan hubungan antara nasionalisme dan masa depan kita. Bukan berarti saya berusaha menghubung-hubungkan tema besar Ubaya Carnival dengan tema topik opini yang harus dibuat, tetapi saya menemukan beberapa hal yang menarik terkait dengan dua hal ini.

Sebelum saya membahas lebih jauh keterkaitan antara nasionalisme dan masa depan kita, saya ingin menunjukkan beberapa kalimat yang pernah diucapkan oleh Albert Einstein terkait dengan nasionalisme dan masa depan.
"Nationalism is an infantile disease. It is the measles of mankind."
"Nationalism, on my opinion, is nothing more than an idealistic rationalization for militarism and aggression."
"I never think of the future. It comes soon enough."
Di sisi lain, saya ingin mengajak kita untuk melihat apa yang dikatakan Theodore Roosevelt dalam kaitannya dengan nasionalisme dan masa depan.
"The country needs and, unless I mistake its temper, the country demands bold, persistent experimentation. It is common sense to take a method and try it: If it fails, admit it frankly and try another. But above all, try something. The millions who are in want will not stand by silently forever while the things to satisfy their needs are within easy reach. We need enthusiasm, imagination and the ability to face facts, even unpleasant ones, bravely. We need to correct, by drastic means if necessary, the faults in our economic system from which we now suffer. We need the courage of the young. Yours is not the task of making your way in the world, but the task of remaking the world which you will find before you. May every one of us be granted the courage, the faith and the vision to give the best that is in us to that remaking!"
Saya tidak akan memperpanjang daftar kalimat-kalimat yang dilontarkan oleh tokoh-tokoh terkenal terkait dengan nasionalisme dan masa depan, tetapi saya ingin mengajak kita meninjau dua tokoh ini saja. Albert Einstein mewakili mereka yang tidak tertarik dengan nasionalisme seperti juga kebanyakan saintis lainnya, sedangkan Theodore Roosevelt mewakili mereka yang punya semangat nasionalisme. Dari kalimat-kalimat yang diucapkan oleh kedua tokoh di atas, kita dapat mengambil hipotesis sementara bahwa mereka yang rendah nasionalismenya, memandang masa depan sebagai sesuatu yang biasa atau tak layak diperjuangkan. Sebaliknya bagi mereka yang mempunyai semangat nasionalisme tinggi, memandang masa depan nyata, dapat diraih, dan layak diperjuangkan sekarang.

Mungkin Anda berpendapat bahwa hipotesis ini tidak valid atau hanya kebetulan saja seperti itu karena hanya diambil dari dua tokoh tersebut. Jika Anda ingin melakukan riset sederhana mengenai apa yang dikatakan oleh tokoh-tokoh lainnya, saya bersedia memberikan banyak referensi. Albert Einstein mewakili tokoh-tokoh lainnya seperti Homer, Richard Aldington, Eugene V. Debs, dan lainnya. Theodore Roosevelt mewakili tokoh-tokoh lainnya seperti Winston Churchil, George Bernard Shaw, Malcolm X, dan lainnya. Tokoh-tokoh yang memandang rendah nasionalisme berasal dari beberapa kalangan seperti saintis, penyair, filsuf, tetapi sejauh riset yang saya lakukan tidak ada satupun yang menjabat sebagai negarawan (tidak ada sejauh yang saya tinjau dengan kata-kata yang mereka lontarkan). Tokoh-tokoh yang memandang arti penting nasionalisme ada di semua kalangan kehidupan termasuk para pebisnis. Poin yang ingin saya sampaikan di sini adalah nasionalisme bisa ditunjukkan dan dilakukan dengan posisi yang kita duduki sekarang, entah itu sebagai pengajar, pelajar, atau di semua bidang lainnya.

Berangkat dari poin tersebut, saya menolak gagasan yang mengatakan bahwa nasionalisme adalah untuk orang-orang yang tidak dapat menciptakan dunianya sendiri. Alasan pertama saya menolaknya adalah kita tidak akan bisa menciptakan dunia kita sendiri tanpa orang lain, sedikit banyak orang lain memberikan pengaruh. Alasan kedua adalah walaupun orang tersebut dapat menciptakan dunianya sendiri (para saintis fisika kuantum sering disebut sebagai orang yang mampu menciptakan dunia mereka sendiri bukan dalam hal berhubungan dengan orang lain, tetapi dalam hal pengetahuan yang mereka miliki terkait ruang dan waktu) dan katakanlah memiliki pengetahuan tentang ruang dan waktu, mereka tetap mendiami ruang dan tidak dapat mengendalikannya serta tidak dapat mengendalikan waktu, dengan kata lain mereka mampu menciptakan dunia mereka sendiri dalam teori tetapi mengabaikan kehidupan nyata. Alasan ketiga adalah nasionalisme adalah suatu pilihan kita.

Pertanyaan berikutnya adalah apakah orang-orang yang berpandangan nasionalisme itu penting selalu terkait dengan pandangannya yang tinggi tentang masa depan? Berdasarkan pengamatan pribadi saya dalam kehidupan sehari-hari dan berdasarkan analisa saya terhadap biografi tokoh-tokoh, jawabannya adalah ya. Kita ambil suatu contoh yang sering disalah mengerti, Mother Teresa yang mendapatkan nobel perdamaian pada tahun 1979. Dalam buku-bukunya, kita bisa mengambil pandangan bahwa Mother Teresa adalah orang yang mempunyai pengharapan akan masa depan dan masa depan akan jadi indah dengan adanya kasih di dunia. Kita juga bisa mengambil pandangan bahwa apa yang dilakukannya adalah bersifat global, dia tidak membeda-bedakan orang dalam menolong. Apakah ini yang dikatakan nasionalisme? Apakah hipotesis kita di atas ternyata salah bahwa nasionalisme berhubungan dengan pandangan masa depan?

Sebelum kita melangkah lebih jauh, kita perlu mendefinisikan apa itu nasionalisme. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia di kamusbahasaindonesia.org, arti kata nasionalisme adalah:
  1. paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri; sifat kenasionalan;
  2. kesadaran keanggotaan dl suatu bangsa yg secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu; semangat kebangsaan;
Ketika kita membaca definisi di atas secara seksama, kita akan menemukan bahwa nasionalisme bukan berarti kita tidak bisa melakukan aktivitas kita secara global tetapi secara singkat adalah kita menempatkan negara kita di atas negara lainnya dengan cara pengabdian diri.

Kasus Mother Teresa sama dengan kasus Hekinus Manao yang meninggalkan kursi Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan untuk menjabat Direktur Eksekutif Bank Dunia. Apakah Hekinus Manao karena hal ini dinilai tidak memiliki nasionalisme? Tentu saja tidak, justru dia membawa nama baik Indonesia dan bisa lebih memperjuangkan negaranya di posisinya yang baru. Sama halnya dengan Mother Teresa, kita hanya melihat di satu sisi bahwa dia tidak membeda-bedakan orang dalam menolong dan jangkauan pertolongannya adalah global. Kita perlu melihat di sisi lainnya bahwa dia memulai apa yang dilakukannya adalah dalam skala kota, bahkan dalam bukunya "Mother Teresa: A Complete Authorized Biography" ketika diwawancara oleh sebuah surat kabar dan diajukan suatu pertanyaan mengapa dia tidak meluaskan pelayanan kemanusiaannya, beliau menjawab "saya bukan dipanggil untuk melayani semua orang, saya dipanggil untuk setia". Beliau tetap setia menjalankan pelayanannya di kotanya walaupun akhirnya pelayanannya meluas di semua negara di dunia. Menurut saya, inilah sisi nasionalisme yang ditunjukkan oleh beliau dan Calcuta India boleh berbangga memiliki sosok seperti beliau.

Mungkin saya terlalu berlebihan jika mengatakan semua orang yang memandang nasionalisme penting pasti memandang tinggi masa depan dan memperjuangkannya. Poin yang ingin saya tunjukkan dalam artikel pertama ini adalah hipotesis saya yang ada di awal pembahasan, bahwa nasionalisme tampaknya berhubungan dengan pandangan kita akan masa depan dan bagaimana kita memandang masa sekarang. Saya juga ingin kembali menyatakan bahwa nasionalisme adalah pilihan kita, terlepas dari faktor-faktor lainnya.

No comments:

Post a Comment